Kenaikan harga kedelai tengah menjadi momok menakutkan bagi para perajin tahu dan tempe di Kabupaten Pati. Bukan persaingan usaha yang menjadi masalah utama, melainkan dampak dari gejolak ekonomi global. Situasi ini membuat para pelaku UMKM berbasis kedelai tersebut merasa cemas dan was-was akan masa depan usaha mereka.
Indonesia masih sangat bergantung pada impor kedelai dari Amerika Serikat. Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat, ditambah dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, telah menyebabkan harga kedelai meroket. Kenaikan harga ini terjadi secara bertahap, namun dampaknya sudah terasa signifikan bagi perajin.
Dampak Kenaikan Harga Kedelai terhadap Perajin
Muhamad Diyono, seorang perajin tahu dari Desa Wedarijaksa, misalnya. Ia merasakan langsung dampak kenaikan harga kedelai. Harga kedelai kualitas sedang saat ini mencapai Rp 10.500 per kilogram, naik dari harga sebelumnya sekitar Rp 10.300 per kilogram. Meskipun kenaikannya terbilang kecil, namun dengan kebutuhan kedelai mencapai 50 hingga 100 kilogram per hari, biaya produksi Diyono otomatis membengkak.
Kenaikan harga kedelai sebesar Rp 200-Rp 300 per kilogram bisa berakibat fatal bagi usaha kecil seperti milik Diyono. Ia dihadapkan pada pilihan sulit: menaikkan harga jual tahu atau mengurangi ukuran tahu yang diproduksi. Keduanya merupakan pilihan yang sama-sama berat dan berisiko bagi kelangsungan usahanya.
Alternatif Kedelai Lokal
Penggunaan kedelai lokal sebenarnya bisa menjadi solusi alternatif. Namun, ketersediaan kedelai lokal yang tidak stabil menjadi kendala utama. Meskipun kualitas kedelai lokal dinilai tidak kalah baik, namun suplainya yang seringkali tidak teratur membuat perajin enggan beralih secara penuh.
Ketidakstabilan pasokan kedelai lokal ini merupakan permasalahan yang harus segera ditangani. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan dan distribusi kedelai lokal yang konsisten, sehingga perajin memiliki pilihan yang lebih aman dan terjangkau.
Harapan Perajin dan Peran Pemerintah
Diyono dan perajin tahu tempe lainnya berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menstabilkan harga kedelai. Setelah menikmati periode harga yang stabil selama setahun terakhir, kini mereka kembali dihadapkan pada ketidakpastian yang mengancam keberlangsungan usaha mereka. Mereka tidak ingin kembali mengalami kesulitan ekonomi seperti di masa lalu.
Saat ini, harga satu papan tahu yang berisi 100 potong berkisar Rp 37.000. Jika harga kedelai terus merangkak naik, para perajin akan semakin terjepit. Mereka harus membuat keputusan sulit antara mempertahankan harga jual agar tetap terjangkau bagi konsumen, atau menerima kerugian yang berpotensi menutup usaha mereka.
Perlu adanya upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Selain menstabilkan harga kedelai impor, pemerintah juga perlu mendorong peningkatan produksi dan distribusi kedelai lokal. Program subsidi, pelatihan, dan bantuan teknologi kepada petani kedelai juga perlu ditingkatkan untuk meningkatkan daya saing produk lokal.
Tantangan dan Solusi Jangka Panjang
Kebergantungan Indonesia pada impor kedelai merupakan permasalahan struktural yang perlu diatasi secara serius dan berkelanjutan. Diversifikasi pangan dan peningkatan produksi kedelai lokal menjadi kunci untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Hal ini membutuhkan komitmen jangka panjang dari pemerintah, sektor swasta, dan petani.
Peningkatan teknologi pertanian, riset untuk menghasilkan varietas kedelai unggul, dan peningkatan infrastruktur pendukung seperti irigasi dan penyimpanan pasca panen juga sangat penting. Dengan begitu, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor kedelai dan melindungi para perajin tahu dan tempe dari gejolak harga global.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pelatihan dan pendampingan bagi perajin untuk meningkatkan efisiensi produksi dan diversifikasi produk. Dengan inovasi dan adaptasi, perajin tahu dan tempe dapat bertahan dan terus berkembang meskipun dihadapkan pada tantangan yang berat.
Kesimpulannya, permasalahan kenaikan harga kedelai ini bukan hanya masalah sesaat, melainkan masalah struktural yang membutuhkan solusi komprehensif dan berkelanjutan. Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan para perajin sangat diperlukan untuk menciptakan solusi yang tepat dan berdampak positif bagi semua pihak.
Editor: Modesta Fiska