Isu mengenai ijazah Presiden Jokowi kembali mencuat dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pengamat Politik Universitas Gadah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad, Ph.D., menilai isu ini justru semakin menyesatkan publik.
Tuduhan ijazah palsu yang beredar luas, khususnya di media sosial, menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi publik. Di era post-truth, informasi yang beredar di dunia maya seringkali diterima begitu saja tanpa adanya verifikasi.
Akibatnya, banyak masyarakat yang sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang salah. Hal ini menyebabkan perdebatan yang sehat dan pencarian kebenaran menjadi terhambat.
Dampak Negatif Isu Ijazah Palsu
Nyarwi Ahmad menjelaskan bahwa di media sosial, standar norma dan prinsip-prinsip perdebatan publik cenderung longgar. Kebebasan berpendapat yang dijamin dalam demokrasi justru dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Berbeda dengan media arus utama, media mainstream memiliki rambu-rambu perdebatan yang lebih terukur. Meskipun tetap ada noise (kebisingan informasi), media mainstream berupaya menyaring dan menyajikan voice (suara) yang lebih kredibel.
Namun di media sosial, dominasi noise justru mengaburkan kebenaran. Perdebatan menjadi tidak sehat dan cenderung menyesatkan, tanpa adanya manajemen yang baik.
Peran Buzzer dan Influencer
Peran buzzer dan influencer juga memperparah situasi. Mereka, baik dalam konteks politik maupun pemasaran produk, seringkali menyebarkan informasi yang tidak akurat atau bahkan palsu.
Review produk yang tidak jujur dan pengejaran jumlah follower semata, mengakibatkan masyarakat sulit memperoleh informasi yang benar dan berkualitas. Dampaknya, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan produk berkualitas karena review yang tidak valid.
Dalam konteks politik, masyarakat yang menginginkan informasi yang akurat dan terverifikasi justru menjadi korban penyebaran informasi yang menyesatkan.
Ciri-ciri Masyarakat yang Tersesat
Nyarwi Ahmad menjabarkan ciri-ciri masyarakat yang telah tersesat karena informasi yang salah. Mereka cenderung kehilangan prinsip dan nilai-nilai konsensus publik, bahkan menjadi apatis.
Ketidakpercayaan terhadap institusi publik, seperti UGM yang juga menjadi sasaran isu ini, menjadi indikator utama. Jika masyarakat tidak percaya kepada institusi, mereka akan kesulitan mencari rujukan informasi yang kredibel.
Hasil investigasi dari lembaga resmi pun seringkali diragukan, menunjukkan tren ketidakpercayaan yang semakin menguat di masyarakat.
Ancaman Terhadap Harmonisasi Sosial
Lebih lanjut, Nyarwi menekankan bahwa mendelegasikan kebenaran kepada pihak lain tanpa verifikasi dapat memecah belah masyarakat. Kepercayaan masyarakat menjadi rapuh dan terpolarisasi.
Situasi ini berpotensi menghancurkan struktur norma dan harmonisasi sosial dalam masyarakat. Kebebasan berpendapat di era demokrasi harus diimbangi dengan tanggung jawab dan etika dalam menyampaikan informasi.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dan bijak dalam menerima informasi, serta memeriksa kebenaran informasi dari berbagai sumber yang terpercaya.
Kesimpulan
Isu ijazah palsu Jokowi, yang terus bergulir, menunjukkan betapa pentingnya literasi digital dan kemampuan kritis masyarakat dalam menyaring informasi. Kepercayaan terhadap institusi dan harmonisasi sosial menjadi taruhannya.
Perlu adanya upaya bersama untuk melawan penyebaran informasi hoaks dan memperkuat literasi digital agar masyarakat Indonesia tidak mudah tersesat oleh informasi yang menyesatkan.
Pentingnya edukasi media dan pengembangan kritisi berpikir menjadi kunci utama untuk menghadapi tantangan informasi di era digital ini.
Editor: Arif Purniawan