Dosen Hukum Pidana Universitas Riau, dr Erdiano Effendi, memberikan pandangannya terkait kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi yang melibatkan Roy Suryo dan beberapa pihak lainnya. Ia menekankan bahwa meskipun para terduga merasa tidak bersalah dan berdalih melakukan penelitian dokumen publik, proses hukum tetap akan berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam sistem hukum Indonesia, asas hukum menyatakan bahwa setiap warga negara dianggap mengetahui hukum yang berlaku. Oleh karena itu, tidak ada alasan pembenar atau pemaaf bagi tindakan yang melanggar hukum, meskipun pelaku mengklaim ketidaktahuannya.
Erdiano Effendi menjelaskan potensi ancaman hukuman yang dihadapi Roy Suryo dkk. Mereka dapat dikenai pasal berlapis, meliputi Pasal 310 KUHP (pencemaran nama baik), Pasal 311 KUHP (fitnah), dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE (pencemaran nama baik melalui media elektronik). Pasal 310 KUHP mengancam hukuman 9 bulan penjara, sementara Pasal 311 KUHP dapat dikenai hukuman hingga 4 tahun penjara.
Ancaman Hukum dan Proses Penyidikan
Kasus ini, yang ditangani oleh Polda Metro Jaya, saat ini masih dalam tahap penyelidikan dan telah beralih ke tahap penyidikan. Proses hukum akan terus berjalan hingga ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah atau tidak bersalah. Hak untuk merasa tidak bersalah tetap dimiliki oleh para terduga, namun kewenangan untuk menentukan status hukum sepenuhnya berada di tangan aparat penegak hukum dan peradilan.
Erdiano Effendi juga menegaskan bahwa tindakan Presiden Jokowi melaporkan kasus ini ke polisi merupakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Langkah tersebut bukanlah kriminalisasi, selama tidak ada unsur paksaan, intimidasi, atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Klarifikasi Mengenai Kriminalisasi
Roy Suryo dan kelompoknya menyatakan bahwa mereka dikriminalisasi. Mereka beranggapan bahwa tindakan hukum yang diambil terhadap mereka tidak adil dan bertujuan untuk membungkam mereka. Namun, kriminalisasi memiliki pengertian yang spesifik dalam hukum, yaitu penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang sebelumnya dianggap biasa. Kasus ini tidak masuk dalam definisi kriminalisasi tersebut.
Kriminalisasi dalam arti populer mengacu pada penggunaan hukum pidana untuk mentersangkakan orang tertentu. Dalam kasus ini, pelaporan yang dilakukan oleh Jokowi, yang merupakan warga negara biasa yang merasa dirugikan, bukanlah tindakan kriminalisasi. Hanya jika Jokowi menggunakan kekuatan negara secara masif dan sistematis untuk menekan atau membungkam Roy Suryo dan kawan-kawan, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Meskipun Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa merasa tidak bersalah, hak tersebut tidak serta-merta menghapuskan potensi hukuman. Pengadilan yang berwenang akan menentukan kesalahannya. Keputusan pengadilan akan menjadi penentu akhir dari kasus ini.
Penjelasan Tambahan Mengenai Pasal yang Diterapkan
Pasal 310 KUHP mengatur tentang pencemaran nama baik, yang merupakan delik aduan. Artinya, kasus ini hanya dapat diproses jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini Presiden Jokowi. Pasal 311 KUHP merupakan pasal tentang fitnah yang juga merupakan delik aduan. Perbedaan utama antara pencemaran nama baik dan fitnah terletak pada unsur kesengajaan dan kebenaran informasi yang disebarluaskan.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE berkaitan dengan penyebaran informasi elektronik yang mencemarkan nama baik. Pasal ini memiliki cakupan yang lebih luas karena mencakup media elektronik. Ancaman hukuman yang diberikan dalam pasal ini pun cukup berat, bergantung pada tingkat keseriusan dan dampak dari tindakan yang dilakukan.
Kesimpulannya, kasus ini akan terus bergulir melalui proses hukum yang berlaku. Meskipun terdapat klaim kriminalisasi, penegakan hukum harus tetap berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ada. Perlu diingat bahwa presumsi tak bersalah berlaku hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Isu Ijazah Palsu: Perspektif yang Berbeda
Kasus ini memunculkan perdebatan publik yang luas mengenai beberapa hal penting, seperti hak untuk mengakses dan meneliti dokumen publik, batasan kebebasan berekspresi, dan tanggung jawab atas penyebaran informasi yang belum terverifikasi. Beberapa pihak berpendapat bahwa meneliti dokumen publik adalah hak warga negara, namun perlu diimbangi dengan tanggung jawab untuk memastikan kebenaran dan keakuratan informasi sebelum disebarluaskan ke publik.
Di sisi lain, perlu dipertimbangkan dampak dari penyebaran informasi yang tidak benar atau bersifat fitnah terhadap individu atau institusi yang dituduh. Kebebasan berekspresi bukanlah jaminan untuk menyebarkan informasi palsu atau fitnah yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan hak asasi perlu dijaga dan dipertimbangkan dalam setiap kasus.
Kasus ini juga menjadi sorotan mengenai transparansi dan akuntabilitas publik. Publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat dari pejabat publik, termasuk mengenai latar belakang pendidikan mereka. Namun, cara untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi tersebut harus dilakukan sesuai dengan hukum dan etika jurnalistik.