Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 terkait syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini disampaikan langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, pada Kamis, 18 Juli 2025. MK berpendapat bahwa syarat pendidikan minimal SMA/sederajat yang tercantum dalam UU Pemilu telah sesuai dengan amanat UUD 1945.
Dengan demikian, MK menolak usulan agar syarat minimal pendidikan capres-cawapres dinaikkan menjadi Sarjana (S1). Putusan ini mengakhiri perdebatan mengenai persyaratan pendidikan minimal untuk para pemimpin negara. Proses hukum ini telah diajukan oleh pemohon, Hanter Oriko Siregar.
Penolakan MK atas Syarat Pendidikan Minimal Capres-Cawapres
MK menilai bahwa pasal-pasal dalam UU Pemilu yang mengatur syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden telah cukup mengakomodasi amanat UUD 1945. Pasal 169, 170, dan 171 UU Pemilu secara jelas menetapkan syarat pendidikan minimal SMA/sederajat.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan, pemaknaan baru yang mensyaratkan pendidikan minimal S1 justru dianggap akan mempersempit peluang bagi calon pemimpin negara. Hal ini dinilai dapat membatasi hak warga negara untuk dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden.
Alasan MK Menolak Permohonan Uji Materi
MK menekankan bahwa ketentuan dalam UU Pemilu yang menetapkan minimal SMA/sederajat tidak menghalangi partai politik untuk mencalonkan figur dengan pendidikan lebih tinggi. Artinya, partai politik tetap memiliki kebebasan dalam memilih calon yang dianggap berkualitas, terlepas dari jenjang pendidikannya.
Putusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa syarat minimal SMA/sederajat sudah cukup untuk menjamin calon presiden dan wakil presiden memiliki pemahaman dasar tentang tata kelola negara. Menambahkan syarat S1 dianggap tidak perlu dan justru membatasi hak konstitusional warga negara.
Tanggapan Pemohon dan Implikasi Putusan
Pemohon uji materi, Hanter Oriko Siregar, sebelumnya berargumen bahwa pendidikan SMA/sederajat tidak cukup memberikan pemahaman komprehensif tentang tata kelola negara. Ia menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif, serta kemampuan menganalisis isu global, yang menurutnya hanya dapat diperoleh melalui pendidikan tinggi.
Pemohon juga menyoroti kewenangan presiden dalam mengajukan rancangan undang-undang. Hal ini dianggap memerlukan kemampuan intelektual dan pengetahuan yang lebih mendalam. Namun, argumen tersebut tidak dipertimbangkan cukup kuat oleh MK. Putusan MK ini memberikan kepastian hukum terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sekaligus menegaskan kewenangan partai politik dalam menentukan calonnya.
Putusan MK ini mengakhiri perdebatan mengenai syarat pendidikan minimal capres-cawapres. MK menilai persyaratan pendidikan minimal SMA/sederajat sudah cukup dan sesuai dengan amanat UUD 1945. Dengan demikian, partai politik tetap memiliki fleksibilitas dalam memilih calon yang dianggap memenuhi kualifikasi kepemimpinan, tanpa terbatas pada persyaratan pendidikan formal yang lebih tinggi. Putusan ini memberikan kejelasan hukum dan menghindari potensi pembatasan hak konstitusional warga negara.