Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, menegaskan bahwa ketentuan upaya paksa dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tidak berlaku bagi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan RI, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini disampaikannya menyusul adanya kekhawatiran atas implikasi RUU KUHAP terhadap penanganan tindak pidana korupsi.
RUU KUHAP mengatur berbagai upaya paksa seperti penyadapan, penyidikan, penyelidikan, pencekalan, dan penangkapan. Namun, aturan-aturan tersebut dikecualikan untuk lembaga penegak hukum khusus dalam penanganan kasus tertentu.
RUU KUHAP dan Pengecualian Upaya Paksa untuk Lembaga Tertentu
Eddy Hiariej menjelaskan bahwa pengecualian ini secara eksplisit tertuang dalam beberapa pasal RUU KUHAP. Ini berarti, dalam konteks penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, aturan yang berlaku bukanlah KUHAP.
Ia menekankan bahwa korupsi merupakan tindak pidana khusus dengan hukum acara tersendiri, yang diatur dalam UU KPK. Prinsip *lex specialis derogat legi generali*—hukum khusus mengesampingkan hukum umum—berlaku dalam hal ini.
Kekhawatiran KPK terhadap RUU KUHAP
Sebelumnya, KPK telah menyampaikan 17 poin permasalahan dalam RUU KUHAP kepada pemerintah dan DPR. Salah satu poin utama yang disoroti adalah pengesampingan sifat kekhususan dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (*extraordinary crime*) yang membutuhkan penanganan hukum khusus. KPK menekankan pentingnya pengaturan khusus dalam KUHAP untuk kejahatan ini.
Penyelesaian Kasus Korupsi dan Aturan Khusus
KPK menilai, RUU KUHAP perlu mengatur secara khusus penanganan tindak pidana korupsi. Hal ini mengingat kompleksitas dan sifat luar biasa kejahatan ini.
KPK masih mendiskusikan poin-poin permasalahan tersebut untuk kemudian disampaikan sebagai masukan kepada Presiden dan DPR. Masukan tersebut diharapkan dapat memperkuat draf RUU KUHAP agar sesuai dengan kebutuhan penanganan kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Analogi dengan KUHP Baru dan Pernyataan Wamenkumham
Eddy Hiariej memberikan analogi dengan disahkannya KUHP baru pada 2 Januari 2023. Terdapat kekhawatiran serupa saat itu, yakni potensi pelemahan pemberantasan korupsi.
Namun, kenyataannya KPK tetap mampu bekerja secara optimal dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi pasca-berlakunya KUHP baru. Hal ini menunjukkan bahwa aturan khusus untuk tindak pidana korupsi tetap dapat berjalan efektif. Hal serupa diyakini akan terjadi dengan pengecualian dalam RUU KUHAP.
Lebih lanjut, Wamenkumham menjelaskan bahwa pengaturan hukum acara khusus tidak hanya berlaku untuk korupsi, tetapi juga tindak pidana khusus lain seperti terorisme dan narkotika. Konsep ini memastikan penanganan yang tepat dan efektif untuk kejahatan-kejahatan dengan karakteristik unik. Terkait penyadapan, RUU KUHAP hanya menyebut bahwa ketentuannya akan diatur dalam undang-undang tersendiri.
Kesimpulannya, pengecualian upaya paksa dalam RUU KUHAP untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI memastikan keberlanjutan penanganan tindak pidana korupsi secara efektif. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum khusus yang mendahului hukum umum, dan menunjukkan komitmen pemerintah untuk memberantas kejahatan luar biasa seperti korupsi. Proses diskusi dan masukan dari KPK diharapkan dapat menghasilkan RUU KUHAP yang komprehensif dan seimbang.